KABAR JAWA – Mangkunegara I atau Raden Mas Said dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa karena kepiawaiannya di medan laga, khususnya ketika menghadapi pasukan Belanda.
Sejak muda, keberanian dan keteguhannya membuatnya tidak gentar menghadapi lawan.
Pada masa dewasanya, ia bahkan harus berhadapan dengan tiga lawan sekaligus, yaitu VOC atau Belanda, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Perjuangannya yang tidak kenal lelah inilah yang membuat lawan kesulitan menghadapinya.
Perang Panjang Melawan VOC dan Mataram
Perjuangan Raden Mas Said berlangsung selama bertahun-tahun. Pada periode 1741-1742, ia memimpin pasukan Tionghoa melawan VOC.
Saat itu, campur tangan Belanda dalam pemerintahan Sultan Mataram memicu kerusuhan di pusat kota.
Rakyat dari wilayah Rembang, Brebes, Tegal, Lamongan, dan orang Tionghoa di Batavia bersatu di bawah komando Sunan Kuning.
Sebagian warga terpaksa mengungsi ke Cirebon dan Indramayu demi mendapatkan perlindungan dari Sultan Cirebon.
Melansir dari berbagai sumber, memasuki periode 1743-1752, Raden Mas Said kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi untuk melawan Mataram dan VOC.
Namun, melalui Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, Belanda berhasil memecah Mataram menjadi dua wilayah, yakni Surakarta dan Yogyakarta.
Perjanjian ini kemudian ditentang keras oleh Raden Mas Said karena dianggap memecah belah rakyat Mataram.
Perlawanan Terakhir dan Musuh Berlapis
Antara tahun 1752-1757, Raden Mas Said memimpin pasukannya melawan Pakubuwana III dari Surakarta dan Hamengkubuwana I dari Yogyakarta, yang saat itu bersekutu dengan pasukan kompeni.
Meskipun jumlah pasukannya cukup sedikit, rupanya mereka mampu bergerak cepat dan menguasai medan pertempuran.
Hal ini tak lepas karena strategi yang diterapkan Raden Mas Said terhadap para anak buahnya.
Taktik Perang yang Mengguncang Lawan
Pangeran Sambernyawa menguasai strategi gerilya yang mematikan. Pasukannya dikenal mampu mundur lalu menyerang dari berbagai arah yaitu kiri, kanan, depan, dan belakang secara mendadak, membuat lawan kewalahan.
Tiga taktik utama yang ia gunakan dikenal dengan sebutan Ddhedemitan, Weweludhan, dan Jejemblungan. Lalu, apa artinya?
Weweludhan
Weweludhan berasal dari kata “welut” yang berarti belut. Belut dikenal licin dan sulit ditangkap.
Dalam peperangan, hal ini menggambarkan pasukan Pangeran Sambernyawa yang sulit dikepung maupun ditangkap musuh.
Ddhedemitan
Ddhedemitan diambil dari kata “demit” atau setan. Taktik ini menggambarkan pasukan yang bergerak senyap dan tak terlihat, namun mampu memberikan serangan mengejutkan yang mematikan.
Jejemblungan
Jejemblungan dapat diartikan sebagai tindakan gila-gilaan. Pasukan yang menggunakan taktik ini akan maju tanpa rasa takut, menghadapi lawan secara langsung, dan melibas siapa pun yang ada di hadapan mereka.
Semangat Tiji Tibeh dan Julukan Sambernyawa
Pangeran Sambernyawa juga memiliki semboyan Tiji Tibeh, akronim dari “mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh” yang berarti mati satu mati semua, berjaya satu berjaya semua.
Julukan Sambernyawa sendiri diambil dari nama pedang yang selalu dibawanya dalam setiap pertempuran melawan penjajahan asing.
Dengan demikian, kini diketahui bahwa kisah Pangeran Sambernyawa bukan hanya cerita tentang perang, tetapi juga tentang kegigihan, persatuan, dan strategi cerdas.
Hingga kini, namanya tetap diingat sebagai pahlawan nasional yang mampu mengubah jalannya pertempuran dengan taktik sederhana namun mematikan, yang membuat sejarah mencatatnya sebagai salah satu pejuang paling berbahaya yang pernah dihadapi Belanda di tanah Jawa.***
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime