Mengapa Wayang Orang Dulu Jadi Hiburan Elite, Kini Justru Diperjuangkan untuk Bertahan Hidup


 

Ilustrasi Mengapa Wayang Orang Dulu Jadi Hiburan Elite, Kini Justru Diperjuangkan untuk Bertahan Hidup/Unsplash

KABAR JAWA  – Wayang merupakan salah satu puncak seni budaya Indonesia yang menggabungkan seni peran, musik, tutur, sastra, lukis, hingga filsafat.

Dulu wayang orang menjadi hiburan elite yang erat dengan ritual kenegaraan dan pendidikan budi pekerti, kini harus berjuang bertahan menghadapi modernisasi, berkurangnya minat generasi muda, serta mahalnya biaya produksi.

Wayang: Warisan Budaya yang Melampaui Zaman

Wayang sering disebut sebagai mahakarya seni bangsa Indonesia. Di dalamnya berpadu berbagai cabang seni: peran, suara, musik gamelan, sastra, lukis, pahat, hingga perlambang filosofis.

Tidak hanya hadir sebagai tontonan, wayang juga menjadi tatanan dan tuntunan dan sebuah refleksi kehidupan manusia dari lahir hingga mati.

Sejarah mencatat wayang telah dikenal di Nusantara sejak sekitar 1500 SM. Pada awalnya, ia berkaitan erat dengan ritual pemujaan roh leluhur yang disebut hyang atau dahyang.

Bentuk awal pertunjukan masih sederhana, namun berkembang pesat pada masa Hindu-Buddha dengan cerita Ramayana dan Mahabharata. Di era kerajaan Jawa, lahir pula kisah Panji yang menceritakan kepahlawanan Raden Inu Kertapati (Panji Asmarabangun) dan Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana).

Masuknya Islam membawa perubahan lain. Wayang dimanfaatkan sebagai media dakwah dengan penyesuaian tokoh maupun alur cerita agar selaras dengan ajaran agama. Bahkan di era modern, wayang pernah dijadikan alat propaganda politik. Fleksibilitas inilah yang membuat wayang bertahan ribuan tahun, meski terus mengalami akulturasi dengan budaya baru yang masuk.

Peran Sentral Dalang dan Pendukung Pertunjukan

Di balik megahnya pementasan wayang, ada sosok dalang yang menjadi pusat segalanya. Dalang tidak hanya memainkan tokoh wayang, melainkan juga bertindak sebagai sutradara, narator, sekaligus pengendali jalannya cerita. Dalam tugasnya, dalang dibantu oleh:

  • Juru kawih, yang bertugas menyanyikan tembang untuk menghidupkan suasana.
  • Condoli, asisten khusus dalang yang menyiapkan wayang sesuai adegan.
  • Gamelan, seperangkat musik tradisional yang menciptakan atmosfer magis, mulai dari rebab, gendang, saron, bonang, hingga gong.

Pertunjukan selalu diawali dengan narasi dalang, lalu dilanjutkan dialog antar tokoh. Dari sini terlihat bahwa wayang bukan hanya hiburan, tetapi juga panggung pendidikan moral, filsafat, dan spiritual.

Mengapa Wayang Orang Dulu Menjadi Hiburan Elite?

Wayang orang atau wayang wong pernah berada di puncak kejayaan, khususnya di lingkungan keraton Jawa. Beberapa alasan utamanya antara lain:

  1. Ritual kenegaraan dan legitimasi kekuasaan
    Wayang orang kerap dipentaskan di istana untuk memperkuat wibawa raja. Kisah para satria dan dewa dijadikan simbol legitimasi kekuasaan.
  2. Pendidikan budi pekerti bangsawan
    Pertunjukan wayang orang sarat dengan nilai moral, tata krama, dan etika. Anak-anak bangsawan belajar jiwa ksatria, keadilan, dan harmoni melalui kisah-kisahnya.
  3. Representasi status sosial
    Karena erat kaitannya dengan keraton, hanya kalangan elite yang dapat menikmati pertunjukan ini. Kehadirannya menjadi simbol prestise dan kebesaran budaya.

Mengapa Kini Wayang Orang Harus Berjuang Bertahan?

Memasuki era globalisasi, wayang orang menghadapi tantangan besar:

  • Menurunnya minat generasi muda
    Pertunjukan dianggap kuno, berbahasa sulit, dan waktunya terlalu panjang. Anak muda lebih memilih hiburan modern seperti film, drama Korea, atau konser musik.
  • Regenerasi yang terhambat
    Dalang, sinden, dan pemain baru semakin sulit ditemukan. Padahal, keberlangsungan wayang sangat bergantung pada adanya penerus yang menguasai seni ini.
  • Biaya produksi yang mahal
    Wayang orang membutuhkan banyak pemain, kostum rumit, tata panggung megah, serta iringan gamelan lengkap. Hal ini membuat pertunjukan sulit bersaing dengan hiburan murah dan cepat diakses.
  • Persaingan dengan hiburan modern
    Film, media sosial, dan game jauh lebih menarik bagi generasi sekarang. Wayang yang terikat pakem dianggap kaku dan monoton sehingga ditinggalkan penonton.

Kritik Terhadap Pola Pertunjukan

Banyak penonton menganggap cerita wayang kulit dan wayang orang terlalu baku. Adegan yang berulang seperti rapat kerajaan, lawakan, perang, dan klimaks kebaikan mengalahkan kejahatan dan sering dianggap membosankan.

Generasi sekarang lebih menyukai cerita dengan karakter yang kompleks, penuh konflik batin, dan realistis, seperti dalam film-film Hollywood atau serial Korea. Tokoh yang digambarkan serba baik atau serba jahat dinilai kurang relevan dengan kehidupan nyata.

Sayangnya, sebagian pemerhati wayang menolak inovasi. Saat ada percobaan mempersingkat durasi atau menyusun ulang adegan, protes muncul. Akibatnya, ruang eksplorasi dan improvisasi sangat terbatas.

Upaya Pelestarian Wayang Orang

Meski menghadapi tantangan besar, berbagai pihak masih berjuang agar wayang orang tidak punah. Beberapa langkah yang dilakukan antara lain:

  • Festival budaya dan pendidikan
    Pemerintah bersama komunitas budaya rutin mengadakan festival, lomba, dan memasukkan wayang ke dalam kurikulum seni sekolah.
  • Inovasi pertunjukan
    Kelompok seperti Wayang Orang Sriwedari mencoba menambah elemen modern: tata cahaya lebih dinamis, musik gamelan dipadukan dengan orkestra, serta sinopsis dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar mudah dipahami generasi muda maupun turis asing.
  • Hari Wayang Nasional
    Sejak 2018, pemerintah menetapkan 7 November sebagai Hari Wayang Nasional, bertepatan dengan pengakuan UNESCO yang menetapkan wayang sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia.

Wayang orang adalah salah satu mahakarya seni bangsa Indonesia yang sarat nilai moral, spiritual, dan filosofis.

Dulu ia menjadi hiburan elite keraton sekaligus simbol kekuasaan, kini justru berjuang untuk bertahan di tengah gempuran hiburan modern.

Agar wayang tetap hidup, dibutuhkan kombinasi antara pelestarian tradisi dan inovasi kreatif. Tanpa itu, bukan tidak mungkin generasi mendatang hanya mengenal wayang sebagai catatan sejarah, bukan sebagai seni hidup yang terus bernapas dalam kebudayaan bangsa.

***



Game Center

Game News

Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime

Gaming Center