Dana Desa Mengalir, Rino Caroko Soroti Ketimpangan Pembangunan Desa di Gunungkidul


Penyaluran Dana Desa/Foto Ilustrasi: Freepik

KABARJAWA – Dana desa tahap kedua kembali mengucur deras ke berbagai penjuru Kabupaten Gunungkidul. Pemerintah pusat menyalurkan dana senilai Rp 40,65 miliar langsung ke rekening 85 kalurahan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).

Dana tersebut menjadi bagian dari komitmen nasional untuk mempercepat pembangunan desa. Namun, di balik pencairan itu, muncul suara kritis, ke mana sebenarnya arah pembangunan desa?

Aktivis sosial Rino Caroko melontarkan kritik pedas terhadap efektivitas program Dana Desa yang telah bergulir sejak 2015.

Ia menyuarakan kekhawatiran soal penggunaan anggaran yang justru gagal menyentuh akar kemiskinan. Rino mempertanyakan orientasi pembangunan yang selama ini berjalan di desa-desa, termasuk di Gunungkidul.

“Sejak dana desa bergulir, negara seolah menumpahkan triliunan rupiah ke desa-desa. Tapi lihat hasilnya. Ribuan desa tetap miskin. Apa yang sebenarnya dibangun?” tegas Rino dengan nada tajam.

Gunungkidul Tetap Tertinggal meski Dana Desa Mengalir

Rino mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan masih lebih dari 12.000 desa berstatus sangat tertinggal.

Ia juga merujuk data Kementerian Desa PDTT yang mencatat hanya 5% desa yang telah mencapai status mandiri. Menurutnya, angka tersebut mencerminkan kegagalan struktural dalam pelaksanaan program dana desa selama satu dekade terakhir.

Gunungkidul menjadi contoh konkret dari ketimpangan pembangunan yang ia maksud. Wilayah dengan bentang alam karst ini masih terjerat persoalan klasik: kemiskinan, akses ekonomi terbatas, dan minimnya daya saing sumber daya manusia. Meski dana desa mengalir tiap tahun, banyak desa belum menunjukkan kemajuan signifikan.

“Di Gunungkidul, saya melihat jalan-jalan memang dibangun, saluran air dibuat, tapi manusianya? Ekonominya? Warga masih berjuang sendiri,” ujar Rino dengan sorot mata serius.

Ia menilai alokasi dana desa terlalu terpaku pada pembangunan infrastruktur fisik. Jalan cor, talut, drainase, dan irigasi memang penting, namun tanpa program pemberdayaan masyarakat, pembangunan hanya melahirkan struktur kosong.

“Apakah kita hanya membangun tembok dan jalan, tapi lupa membangun manusianya?” sindirnya.

Korupsi dan Tata Kelola Buruk

Rino menyoroti kelemahan utama dalam tata kelola dana desa, yaitu pengawasan yang lemah dan praktik korupsi yang masih merajalela.

Ia merujuk data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat ratusan kasus penyalahgunaan dana desa setiap tahun. Ia menyebut praktik markup anggaran, pengadaan fiktif, hingga pemotongan BLT sebagai penyakit lama yang belum sembuh.

“Anggaran yang seharusnya menjadi hak rakyat justru jatuh ke kantong oknum. Ini tragedi yang terus berulang,” kecam Rino.

Bahkan, ia menyebut beberapa kalurahan di Gunungkidul gagal mencairkan dana tahap dua karena belum melengkapi dokumen administrasi. Menurutnya, hal ini menunjukkan lemahnya kapasitas birokrasi desa dalam menyusun perencanaan dan pelaporan.

Masalah tak berhenti di anggaran. Rino juga menyoroti problem struktural lain: peran elite lokal yang menguasai jabatan kepala desa.

Ia menegaskan banyak kepala desa terpilih bukan karena visi dan kapasitas membangun, melainkan karena patronase politik, balas jasa, dan dominasi keluarga besar.

“Jabatan kepala desa sering kali tidak lahir dari komitmen pelayanan publik, tapi dari skema politik yang pragmatis,” tegasnya.

Fenomena ini, menurutnya, mengakibatkan hilangnya arah pembangunan yang partisipatif. Masyarakat justru dijauhkan dari proses pengambilan keputusan.

Meski banyak catatan kelam, Rino mengakui masih ada desa-desa yang berhasil menggunakan dana desa secara produktif.

Ia menyebut Desa Nglanggeran di Gunungkidul sebagai contoh positif. Desa tersebut mampu membangun ekowisata berbasis masyarakat dan mengembangkan koperasi rakyat.

“Tapi itu masih pengecualian. Mayoritas desa lain belum mampu meniru model seperti itu,” ujarnya dengan nada getir.

Ia menyebut keberhasilan Nglanggeran justru menjadi cermin bahwa ketika ada integritas, transparansi, dan visi yang kuat, dana desa bisa menjadi alat pembebasan. Sayangnya, kebanyakan desa masih terjebak dalam model top-down yang mengabaikan potensi lokal.

RPJMD dan RPJMDes Tak Sinkron

Rino juga menyoroti minimnya koordinasi antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa. Ia menyebut ketidaksinkronan antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan RPJMDes sebagai penyebab utama program pembangunan yang tumpang tindih.

“Akibatnya, ada program yang jalan sendiri-sendiri, tidak sinergis, bahkan saling bertabrakan,” katanya.

Sebagai solusi, Rino mendorong penerapan model Community Driven Development (CDD) atau pembangunan berbasis komunitas.

Ia menekankan perlunya keterlibatan aktif masyarakat dalam perencanaan, pengawasan, dan pelaksanaan program pembangunan desa.

Ia juga mendorong pemanfaatan teknologi digital secara transparan untuk memastikan semua proses tercatat dan bisa diakses publik. Namun, ia menegaskan digitalisasi bukan segalanya.

“Reformasi tata kelola desa bukan sekadar soal sistem digital. Ini menyangkut integritas, nilai, dan etika pelayanan publik,” ucapnya.

Di akhir pernyataannya, Rino mengajak seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dana desa. Ia menyampaikan peringatan keras kepada negara agar tidak membiarkan desa terus tertinggal.

“Kalau kita membiarkan desa seperti ini terus, kita sedang membangun masa depan Indonesia di atas fondasi yang rapuh. Bangun desa berarti bangun bangsa,” pungkasnya. (ef linangkung)



Game Center

Game News

Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime

Gaming Center